Hutan Mangrove Desa Muara Kamis, 25 April 2021 112122 DESA MUARA Tahu kah anda, tak jauh dari tempat wisata Tanjung Pasir, Tangerang tedapat tempat wisata Hutan Mangrove yang terletak di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Tempat ini sangat cocok dijadikan destinasi berlibur yang penuh dengan edukasi bersama keluarga, teman atau pun pasangan. Hutan mangrove adalah ekosistem hutan daerah pantai yang terdiri dari kelompok pepohonan yang bisa hidup dalam lingkungan berkadar garam tinggi. Salah satu ciri tanaman mangrove memiliki akar yang menyembul ke permukaan. Penampakan mangrove seperti hamparan semak belukar yang memisahkan daratan dengan laut. Hutan ini dipenuhi berbagai macam tanaman bakau atau mangrove. Mulai dari ukuran tanaman yang besar sampai yang baru ditanam. "Tanaman di Hutan Mangrove ini banyak sekali ukurannya, dari yang besar sampai yang baru di tanam beberapa bulan yang lalu," ujar Samarudin, salah satu penjaga Hutan Mangrove Selain dapat melihat keindahan tanaman mangrove, tempat ini juga memberikan pemandangan laut yang indah, pantai yang besih. Serta berbagai wahana permainan air seperti perahu bebek, perahu dayung dan pelampung. Namun, sayangnya akses menuju tempat ini melewati jalan yang tidak terlalu lebar. Selain itu terdapat beberapa jalanan yang berlubang dibeberapa titik. "Akses jalannya tidak terlalu besar sama berlubang, tapi karna sudah sampai sini saya tak menyesal, karena tempatnya memang indah," ujar Fadli Muamar, salah satu pengunjung
PendudukKabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun 2010 berjumlah 278.741 jiwa dengan kepadatan 56 jiwa/km2, sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 2000-2010 rata rata 3,03% pertahun. Kabupaten Tanjung Jabung Barat terletak pada posisi strategis, merupakan garis depan dan pintu gerbang menuju Jambi.Pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk mengelola ekosistem pesisir agar tetap dalam keadaan baik, adalah bagaimana menjaga dan merawat ekosistem mangrove yang berperan sangat penting untuk bisa menjaga keberlanjutan pesisir Ekosistem mangrove yang mengalami degradasi, secara bertahap diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia dengan melibatkan banyak pihak dari dalam dan luar negeri. Targetnya, pada 2024 nanti sudah bisa direhabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare Selain bisa menjaga lingkungan pesisir dari berbagai ancaman bencana alam dan dampak perubahan iklim, keberadaan ekosistem mangrove juga diyakini bisa menjadi penopang masyarakat pesisir untuk mengumpulkan rupiah Agar program percepatan rehabilitasi mangrove bisa tetap menjaga keberlanjutan, maka konsep rehabilitasi mangrove disusun pada level lanskap. Pengelolaan berbasis lanskap tersebut, tujuannya untuk menyeimbangkan kepentingan penggunaan lahan yang saling berkompetisi Upaya untuk memulihkan ekosistem mangrove yang mengalami degradasi, terus dilakukan melalui berbagai cara oleh Pemerintah Indonesia. Selain dilakukan sendiri, pemulihan juga dilakukan dengan melibatkan banyak pihak dari dalam dan luar negeri. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Indonesia, diyakini tak hanya untuk memberikan perlindungan terhadap ekologi lingkungan di laut dan pesisir. Namun juga, akan bisa meningkatkan ekonomi sosial masyarakat di pesisir. Demikian diungkapkan Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Kus Prisetiahadi di Jakarta belum lama ini. Perlunya keterlibatan dari masyarakat, karena dengan menjadi sumber ekonomi baru, itu akan memberikan dampak positif kepada Indonesia maupun dunia. Itu sangat baik untuk memperkuat upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui pendekatan pentahelix pemerintah, akademisi, komunitas/masyarakat, bisnis dan media. Adapun, pelibatan masyarakat dilakukan dalam setiap strategi dan program yang fokus pada program rehabilitasi dan pembibitan mangrove dengan luasan mencapai 600 ribu hektare. Mereka hadir untuk terlibat dalam banyak program dan kegiatan di sekitar ekosistem mangrove. Sebut saja, program ekowisata dan produk turunan mangrove lain, proyek ekosistem karbon biru EKB, pembangunan pusat mangrove, kemitraan antara Pemerintah dengan swasta, serta kerja sama internasional yang fokus pada kegiatan penelitian dan pengembangan. “Strategi kerja sama dengan dukungan dana dari luar negeri menjadi salah satu faktor pendukung untuk percepatan rehabilitasi mangrove di Indonesia,” ungkap dia. baca Ekosistem Karbon Biru dalam Peta Konservasi Nasional Wisatawan menikmati hutan mangrove di Pulau Mangare, Gresik, Jatim. Salah satu jenis tumbuhan mangrove itu adalah api-api Avicennia sp.. Foto Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia Kerja sama yang dimaksud, mencakup pengelolaan dengan melibatkan teknologi dan ilmu pengetahuan terbaru. Metode seperti itu diterapkan melalui kerja sama dengan sejumlah negara seperti Persatuan Emirat Arab, Arab Saudi, Korea Selatan, dan Singapura. Selain itu, Kus Prisetiahadi juga menyebutkan kalau kerja sama yang dilakukan Indonesia melibatkan Bank Dunia serta Bank Pembangunan dan Investasi Jerman KFW. Seluruh negara dan instansi luar negeri tersebut sudah menandatangani nota kesepahaman MoU dengan Indonesia. “Sudah ditandatangani MoU dengan beberapa negara,” tutur dia. Sejumlah program dan kegiatan yang fokus dilaksanakan adalah pengembangan MBZ International Mangrove Research Center for Climate MBZIMRC di Bangka Belitung. Kemudian, ada juga rencana rehabilitasi mangrove seluas 150 ribu ha di sembilan lokasi yang diajukan Arab Saudi. Sementara, kerja sama dengan Singapura dilakukan dengan fokus pada pengembangan riset untuk proyek EKB sebagai solusi mitigasi perubahan iklim. Untuk kerja sama tersebut, Indonesia akan mengusulkan sejumlah alternatif lokasi yang bisa menjadi proyek percontohan. Dia bilang, tanggal untuk setiap pelaksanaan sudah ditentukan saat ini. Namun, ada beberapa pihak yang tidak ingin disebutkan nominal angka untuk dana yang mereka kucurkan dalam program rehabilitasi mangrove di Indonesia. “Kita mengusulkan dengan proposal dan mereka sedang mempelajari terlebih dahulu untuk finalisasi,” tambah dia. Kus Presetiahadi meyakini, program rehabilitasi mangrove secara nasional melalui kerja sama internasional, tak hanya akan memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat pesisir. Lebih dari itu, swasta juga bisa mendapatkan keuntungan dengan penjualan karbon carbon trading. baca juga Karbon Biru di Tengah Tantangan dan Hambatan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti kiri berdiri menemani delegasi Arab Saudi melihat kawasan Hutan Mangrove Tanjung Pasir, Tangerang, Banten dalam kerjasama rehabilitasi mangrove untuk kredit karbon. Foto Kemenko Marves Salah satu negara yang sudah melakukan kunjungan, adalah Arab Saudi. Mereka datang tak hanya untuk berkunjung langsung ke lokasi hutan mangrove yang akan menjadi proyek kerja sama antara Indonesia dan negara tersebut. Namun juga, mereka datang untuk membahas lebih lanjut pengembangan ekosistem mangrove di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mengatasi perubahan iklim di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti. Selama berada di Indonesia, Arab Saudi melihat langsung kawasan Hutan Mangrove Tanjung Pasir di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten dan Taman Wisata Alam Mangrove di Kapuk, Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Saat berada di lokasi mangrove, Indonesia bersama Arab Saudi melakukan diskusi dengan masyarakat setempat tentang bagaimana keterlibatan mereka dalam pengelolaan mangrove di sana. Juga, berdiskusi bagaimana mangrove bisa menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat sekitar. Nani Hendiarti menerangkan, khusus untuk mangrove di Tanjung Pasir, pengembangan akan terus dilakukan melalui program penanaman kembali. Selain itu, akan dikembangkan juga metode silvofishery untuk tambak ikan bandeng yang ada di sekeliling lokasi mangrove. “Ke depannya, kawasan ini akan dijadikan sebagai lokasi wisata edukasi,” terang dia. Menurut dia, penerapan metode tersebut dilakukan di Tanjung Pasir, karena sebelumnya sudah ada aktivitas perikanan budi daya di lokasi tersebut. Dengan demikian, hutan mangrove di sana menjadi lokasi untuk lebih dari satu aktivitas. Agar aktivitas tidak terganggu, maka ekosistem mangrove di Tanjung Pasir harus dijaga dengan baik dan sekaligus bagaimana agar hutan bisa menghasilkan kualitas udara yang baik juga. Itu kenapa, pengelola harus terus berusaha menjaga hutan mangrove tetap bersih, terutama bebas dari sampah plastik. perlu dibaca Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia Kawasan Hutan Mangrove Tanjung Pasir, Tangerang, Banten yang masuk dalam program rehabilitasi mangrove nasional. Foto Kemenko Marves Diketahui, kawasan mangrove Tanjung Pasir merupakan pengembangan lokasi melalui kerja sama antara Perusahaan Umum Kehutanan Negara Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani KPH Banten dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang. “Kerja sama dilakukan untuk memanfaatkan jasa lingkungan hutan lindung Tangerang yang ada di pusat mangrove dan sekaligus menjadi ekowisata,” jelas dia. Adapun, salah satu kegiatan rehabilitasi mangrove di Tanjung Pasir sudah berlangsung pada awal 2021 dengan dilakukan penanaman batang pohon mangrove dengan melibatkan banyak kementerian. Peta Mangrove Nani Hendiarti menyebutkan, pengelolaan mangrove di Indonesia dilakukan berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2021. Berdasarkan panduan tersebut, kawasan Mangrove dengan kondisi kritis sudah berkurang luasnya dari 600 ribu ha pada 2011–2013 menjadi 300 ribu ha pada 2021. “Itu bisa terjadi karena meningkatnya kesadaran masyarakat pesisir,” tegas dia. Secara keseluruhan, saat ini Indonesia memiliki lahan mangrove seluas 4,12 juta ha. Rinciannya, seluas 3,36 juta ha adalah lahan eksisting dan seluas 750 ribu ha adalah lahan potensi habitat mangrove. Untuk pengelolaan hutan mangrove, saat ini sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN periode 2020-2024 dan diturunkan menjadi enam program prioritas nasional. Di antaranya, program untuk membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan kebencanaan, dan perubahan iklim. Sementara, merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove BRGM, ditetapkan target percepatan rehabilitasi mangrove seluas hektar bisa diselesaikan pada periode 2021-2024. “Namun, itu diestimasi membutuhkan dana sekitar Rp23 triliun,” tutur dia. Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Profesor Satyawan Pudyatmoko menerangkan, BRGM secara khusus melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove melalui penanaman seluas ha, atau 105 persen dari total ha target penanaman pada 2021. baca juga BRGM Rehabilitasi Mangrove Bukan Pekerjaan Mudah Perjalanan melintasi sekitar situs mangrove Bangko Tappampang, Tanakeke, Takalar, Sulawesi Selatan, menggunakan katinting. Kawasan seluas 51,55 hektar ini terancam antara lain oleh industri arang. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia Agar program percepatan rehabilitasi mangrove bisa tetap menjaga keberlanjutan, maka BRGM menyusun konsep rehabilitasi mangrove pada level lanskap. Pengelolaan berbasis lanskap tersebut, tujuannya untuk menyeimbangkan kepentingan penggunaan lahan yang saling berkompetisi. Dengan demikian, kegiatan perikanan budi daya akuakultur, perikanan tangkap, konservasi sumber daya hayati, fungsi perlindungan, ekowisata, dan fungsi sebagai sarana transportasi air dapat berlangsung secara harmonis. Dia menerangkan, penanaman mangrove akan memberi manfaat tidak sedikit bagi masyarakat di pesisir. Tetapi, saat melaksanakan penanaman harus dilakukan dengan sistem atau cara yang berkelanjutan. “Jangan sampai penanaman itu menyengsarakan,” ucapnya. Menurut dia, saat ini di Indonesia terdapat 130 lanskap mangrove, sehingga diperlukan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Kerja sama tersebut menjadi penting, karena semua kegiatan rehabilitasi tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu pihak. Selain fungsi ekonomi, ekosistem mangrove juga bisa menjadi EKB yang mampu menyerap karbon dioksida CO2 dalam jumlah yang sangat banyak. Kemampuan tersebut muncul bersama dengan ekosistem padang lamun yang juga ada di ekosistem pesisir. Merujuk pada Peraturan Presiden RI Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, pemanfaatan karbon melalui dua ekosistem tadi, harus ditindaklanjuti dengan melaksanakan prosedur menghitung efektivitas penyerapan dan penyimpanan karbon. Kemudian, juga harus ada mekanisme pemberian dan pendistribusian manfaat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga pelaksanaannya dapat memberikan manfaat yang besar untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, dengan tantangan dan segala keterbatasan yang ada, Pemerintah Indonesia tetap optimis akan bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang. Komitmen tersebut menjadi bagian kesepakatan Paris Paris Agreement yang dihasilkan dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-21 COP21 di Paris, Prancis, 2015. menarik dibaca Berlindung di Balik Kokohnya Benteng Ekosistem Pesisir Warga antusias tanam mangrove bersama Presiden Jokowi di Batam. Foto Yogi Eka Saputra/ Mongabay Indonesia Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto pada pekan lalu mengatakan, potensi EKB dari ekosistem mangrove memang harus bisa dikelola dengan baik oleh Indonesia. Namun, harus ada standar pedoman dalam pengelolaan EKB. Pedoman diperlukan, karena penerapan strategi nasional dan pengelolaan potensi besar EKB harus memerlukan koordinasi dan integrasi dengan kementerian dan pemangku kepentingan lain. Selain itu, perlu juga disusun dokumen kebijakan yang bisa menjadi landasan hukum untuk pengelolaan karbon biru di Indonesia. Menurut dia, walau potensi EKB di Indonesia masih sangat besar, namun ada potensi pelepasan karbon dioksida CO2 ke perairan laut, disebabkan oleh perusakan ekosistem pesisir. Rincinya, ada potensi pelepasan CO2 setara dengan 19 persen total emisi perusakan hutan tropis. Apabila EKB dikelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, dia yakin Indonesia dapat berkontribusi lebih untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca GRK sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 persen secara global hingga 2030. Diketahui, selain menjadi negara dengan luasan mangrove terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki padang lamun terluas di dunia yang mencapai 293 ribu ha. Kedua ekosistem tersebut menghadirkan potensi karbon biru yang sangat besar. perlu dibaca Padang Lamun, Gudang Karbon yang Terancam Punah Seorang penyelam menjelajahi padang lamun dengan terumbu karang di perairan Indonesia. Foto shutterstock Baik mangrove atau padang lamun yang ada di Indonesia disebut Bappenas sebagai ekosistem pesisir yang bisa menyimpan karbon alami carbon sink besar dalam waktu yang sangat lama dengan jumlah sedikitnya mencapai 3,3 gigaton atau 17 persen dari karbon biru global. Dengan potensi sangat besar tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini memprioritaskan ekosistem karbon biru dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir, baik yang ada di Indonesia ataupun secara global. Artikel yang diterbitkan oleh bencana ekologis, ekologi pesisir, emisi karbon, featured, hutan mangrove, jakarta, karbon biru, kerusakan lingkungan, kredit karbon, krisis iklim, padang lamun, pembangunan rendah karbon, pencemaran lingkungan, perdagangan karbon, Perikanan Kelautan, Perubahan Iklim, rehabilitasi mangrove
Adanyasedikit hutan mangrove di ujung serta pasir putih di sudut lain menjadi magnet tersendiri. Tempatnya yang masih asri mebuat anda nyaman berada di sini. Wisata pasir putih di pantai delegan gresik, tanjung kodok lamongan hingga tuban. Gresik merupakan salah satu kota industri yang ada di jawa timur, berada persis di sebelah surabaya
Hutan mangrove di Tanjung Boleu di kawasan Pantai Hate Jawa di Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara kini rusak parah karena eksploitasi warga sekitar, dan berdampak pada abrasi pantai dan hilangnya udang serta ikan teri tangkapan warga. Untuk mengembalikan hutan mangrove Tanjung Boleu yang dulunya sangat lebat itu, Pemerintah Desa Kao menerbitkan Perdes tentang Pelestarian Lingkungan Hidup demi mengkonservasi ekologi pesisir terutama hutan mangrove Usaha konservasi itu diapresiasi oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan menetapkan kawasan hutan mangrove Desa Kao menjadi KEE seluas 400 hektar. KEE Desa Kao ini merupakan satu-satunya di Maluku dan Maluku Utara. KEE kawasan mangrove Desa Kao memiliki sumber daya alam hayati yang bernilai penting dan keunikan tersendiri. Misalnya menjadi lokasi bertelurnya penyu dan menjadi ekosistem bagi 23 spesies burung seperti burung endemik Gosong Maluku dan burung migran dara laut China China crested tern yang sangat langka. Tanjung Boleu di kawasan Pantai Hate Jawa di Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara itu dulu dipenuhi mangrove yang memanjang ke laut sekira 20 meter. Itu kondisi 20 tahun lalu. Kini mangrove-nya telah habis. Diambil warga untuk kebutuhan dan akhirnya dihantam abrasi. Tanjung Boleu kini telah menjadi laut. Yang tersisa hanya batang mangrove yang telah mati tertimbun pasir pantai. Kondisi yang sama juga terlihat di tepi pantai berpasir halus sepanjang 3 kilometer itu. “Dulu kalau dilihat dari kampung Kao ini ke kawasan Tanjung Boleu tidak tembus. Pulau Roni di Kabupaten Halmahera Timur itu juga tidak terlihat karena tebalnya hutan mangrove. Sekarang semua telah hilang dan tersisa hanya laut. Kondisi 20 tahun lalu sangat berbeda dengan sekarang,” jelas Lukman Langga ketua kelompok kebun rakyat bibit mangrove desa Kao Halmahera Utara, Selasa 18/8 lalu. Kehilangnya hutan mangrove ikut mengancam kondisi ikan dan udang. “Dulu udang laut dan teri melimpah. Orang hanya pakai jala dapat udang sangat banyak. Tapi sekarang sudah sangat susah. Orang menggunakan berbagai macam alat tangkap tetapi ikan dan udang makin susah,” katanya. Rusaknya hutan mangrove di desa ini karena eksploitasi manusia. Sejak dulu warga setempat memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar untuk memasak bahkan untuk dijual. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, Pemerintah Desa Kao didukung berbagai pihak membuat peraturan desa Perdes tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. baca Hutan Mangrove Maluku Utara Kian Terdesak Tanjung Boleu di pesisir pantai Hate Jawa, Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara yang hilang mangrovenya dan kini telah menjadi laut. Foto Adlun Fikri/AMAN Maluku Utara Sekretaris Desa Kao Rahmat Salampe proses penyadaran warga untuk melestarikan hutan mangrove sampai keluar Perdes tidak mudah. Setelah dilakukan sosialisasi Perdes terus menerus, warga Desa Kao kemudian sadar. Apalagi mereka merasakan sendiri dampak buruk kerusakan hutan mangrove yaitu abrasi dan hilangnya udang dan ikan teri. Tetapi tidak dengan warga tetangga desa. Hampir setiap saat masuk ke kawasan hutan mangrove untuk mengambil kayu dan berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya. “Pengalaman ada warga tetangga desa terpaksa ditahan kayu olahanya oleh warga Kao karena mengolah kayu dari dalam kawasan,” jelas Rahmat. Ada lima desa sekitar yang menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai sumber ekonomi dan terutama ikan dan kayu bakar dan kayu untuk bangunan. Dia menjelaskan dalam Perdes diatur jelas soal hutan mangrove, pantai, dan sungai. Di mana setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup di wilayah desa Kao. Dilarang menebar atau menggunakan bahan kimia, bahan beracun, bahan peledak dan setrum listrik untuk menangkap ikan, udang, dan sejenisnya di pantai,sungai, kolam, kali, dan saluran irigasi lainnya di wilayah desa Kao. Dilarang berburu, menembak, menangkap segala jenis burung di kawasan pantai dan hutan mangrove Desa Kao. Perdes juga melarang pembuangan sampah, tinja, bangkai, bahan beracun, bahan berbahaya, dan bahan pencemar air ke pantai, sungai, kali, dan saluran air lainnya serta di semua tempat yang berpotensi wisata Desa Kao. Dilarang menebang dan merusak pohon di kawasan pantai dan hutan mangrove Desa Kao. Dilarang melakukan kegiatan pembangunan dan usaha pengelolaan tumbuhan mangrove, burung, kerang, kepiting, dan udang di kawasan pantai dan hutan mangrove di Desa Kao tanpa mendapatkan izin tertulis dari Pemerintah Desa Kao. Juga dilarang melakukan kegiatan usaha yang ada kemungkinan menimbulkan pencemaran sebelum mendapatkan izin lingkungan dari yang berwenang. Dalam Perdes juga mengatur setiap orang yang melanggar diwajibkan melakukan ganti rugi dan pemulihan serta denda paling sedikit Rp2 juta dan paling banyak Rp10 juta. baca juga Wisata Andalan Desa Ini dari Menjaga Hutan Mangrove Kondisi tegakan hutan mangrove di kawasan KEE Kao Halmahera Utara. Foto Radios Simanjutak Kawasan Ekosistem Esensial Usaha konservasi kawasan hutan mangrove Desa Kao akhirnya diapresiasi oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan menetapkan kawasan hutan mangrove Desa Kao menjadi Kawasan Ekosistem Esensial KEE melalui SK Bupati yang menetapkan Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE Kao. KEK Desa Kao ini merupakan satu-satunya di Maluku dan Maluku Utara. KEE adalah ekosistem esensial yang ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi, yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif provinsi/kabupaten/kota. Pengelolaan dilakukan secara kolaborasi dalam suatu Forum KEE dan menyampaikan laporannya ke Bupati dan KLHK Balai KSDA Maluku/Malut. Sekretaris Desa Kao Rahmat Salampe menjelaskan 400 hektar dari 404 hektar luas mangrove masuk dalam KEE. Sesuai visi Desa Kao kawasan ini juga telah ditetapkan menjadi kawasan ekowisata mangrove. Hal ini masuk dalam RPJMD rencana pembangunan jangka menengah desa Kao, sesuai kajian potensi dan masalah di desa. Untuk mewujudkannya desa telah bermitra dengan berbagai pihak. “Sejak tahun lalu, kami ada workshop kolaborasi pengelolaan mangrove dan satwa liar di Desa Kao,” jelasnya. Ada sejumlah mitra dari Pemkab Halmahera Utara, Dinas Pariwisata, Balitbangda, Universitas Halmahera, PW AMAN Maluku Utara, Burung Indonesia, Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Balai KSDAE, Kelompok Pemangku Hutan, Forum Daerah Aliran Sungai dan sejumlah instansi lain. “Hasilnya dibentuk struktur forum kolaborasi dan kita menetapkan rencana aksi, Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE itu total berisi 18 anggota dan 19 mitra organisasi, dengan kepala Desa Kao sebagai ketua forum. Saat ini SK KEE juga sudah turun dengan luas kawasan 400 hektar,” jelas Rahmat. menarik dibaca Sudirahmat, Penggerak Tanam Mangrove dari Guruapin Bagian 2 Bekas galian warga mencari telur burung mamua atau gosong di pesisir pantai Hate Jawa, Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara. Foto Adlun Fikri/AMAN Maluku Utara Kehati Tinggi Sebelumnya, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Maluku waktu itu, Mukhtar Amin Ahmadi, memaparkan kawasan mangrove Desa Kao memiliki sumber daya alam hayati yang bernilai penting. Hal itu membuat pihaknya turut mendorong, agar dijadikan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial KEE. “Fungsi kami di Balai KSDA Maluku adalah kegiatan memfasilitasi terbentuknya kawasan ekosistem esensial, kebetulan di Halmahera Utara ini adalah hutan mangrove di Desa Kao,” ujar Mukhtar dalam Sosialisasi dan Konsultasi Publik Deliniasi KEE Kao di Tobelo, Halmahera Utara, akhir tahun lalu, saat pertemuan para pihak di Kao. Dia bilang dalam usulan KEE Kao, telah dilakukan inventarisasi hingga delineasi kawasan oleh forum kolaborasi yang sebelumnya telah terbentuk. Kawasan mangrove di Desa Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara, memiliki keunikan tersendiri. Menjadi lokasi bertelurnya penyu dan burung endemik Gosong Maluku. Kawasan ini juga menjadi ekosistem bagi 23 spesies burung. Beny Aladin Biodiversity Officer Burung Indonesia menjelaskan alasan dan dasar mereka membantu memfasilitasi kawasan mangrove desa ini dijadikan KEE karena adanya riset-riset sebelumnya menyangkut keanekaragaman hayati di dalam kawasan ini terutama burung- burungnya. Burung Indonesia katanya akan melakukan kajian keanekaragaman hayati yang ada di dalam KEE ini tidak hanya burung, Bahkan akan melakukan kajian sosial dan memperkuat kelembagaan di desa dalam upaya memperkuat pengelolaan KEE ini. perlu dibaca Burung Gosong, Inilah Kerabat Maleo dari Maluku Identifikasi jenis-jenis burung yang ada di KEE kawasan mangrove Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara oleh Burung Indonesia. Foto Adlun Fikri/AMAN Maluku Utara Beny mengatakan pihaknya membantu mendorong KEE yang sudah dikerjakan bersama oleh AMAN Malut, perguruan tinggi di Halmahera Utara, Forum DAS Dukono Halmahera Utara dan yang lainnya. Burung Indonesia juga tertarik karena kawasan Kao berdasarkan hasil riset sebelumnya, daerah ini menjadi tempat singgah burung migrasi dari daratan China yaitu dara laut China China crested tern yang sangat langka. Burung ini berbiak di Cina, jika musim dingin terbang ke selatan hingga Australia. Saat terbang menuju Australia menyinggahi kawasan ini. Dara laut china ditemukan satu ekor di antara kelompok burung yang terbang dan singgah kawasan berpasir pantai daerah Kao. Memang, kata Benny, sampai saat ini belum ditemukan kembali burung ini, tetapi riset sebelumnya menjadi dasar untuk dilakukan pembuktian jika ditemukan lagi burung sejenis. Artikel yang diterbitkan oleh abrasi, biota laut, Deforestasi, ekologi pesisir, featured, halmahera, hutan mangrove, kerusakan lingkungan, kesejahteraan nelayan, maluku, Maluku Utara, satwa lautTANJUNGPANDAN BABEL NEWS - Bupati Belitung Sahani Saleh menghadiri rapat koordinasi mengenai isu di bidang pengelolaan lingkungan dan kehutanan yang berlangsung di Swiss Belresort Tanjung Binga, Selasa (2/8). Pertemuan tersebut membahas pengelolaan lingkungan eks tambang, serta mengoptimalkan hutan kemasyarakatan (HKm).JAKARTA-Pemerintah Kabupaten, Banten, telah membuat rencana induk obyek wisata hutan bakau mangrove di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD terkait. "Pada tahap awal dibuatkan rencana kerja menyeluruh mulai pertengahan Januari 2017," kata Sekretaris Daerah Pemkab Tangerang Iskandar Mirsyad di Tangerang, Jumat. Iskandar mengatakan tim tersebut terdiri dari Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata Disporabudpar, Dinas Perikanan dan Kelautan DPK, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda serta melibatkan Perhutani. Hal tersebut karena lahan yang digunakan di Desa Tanjung Pasir itu sebagian merupakan milik Perhutani dan penduduk setempat. Menurut dia, sebagai pimpinan dari tim tersebut ditunjuk aparat Disporabudpar karena mereka dianggap mampu menanggani pariwisata. Keberadaan Tanjung pasir sebagai obyek wisata bakau sangat penting karena berada di wilayah pesisir Laut Jawa yang setiap tahun mengalami abrasi akibat ombak. Namun obyek wisata itu juga sebagai penahan gelombang, maka ditanam ribuan pohon bakau agar dapat berfungsi ganda termasuk mengurangi abrasi pantai. Iskandar menambahkan untuk tahap berikutnya dibangun jalan menuju obyek wisata karena selama ini belum ada agar pelancong dapat menuju lokasi tanpa kendala. Sedangkan lahan yang disiapkan untuk obyek wisata tersebut seluas 12 hektare dan pada lokasi itu juga dibangun sarana maupun prasarana pendukung. Sebagai contoh di lokasi itu juga dibangun tempat kuliner, arena memancing dan lokasi bermain anak agar mereka dapat mencintai alam dan lingkungan. Demikian pula wisatawan dapat menikmati keindahan hutan bakau serta kuliner yang tersedia terutama aneka makanan yang berbahan dasar ikan serta hasil laut lainnya. Bahkan di lokasi tersebut juga disediakan tempat sebagai sarana pembelajaran bagi siswa yang berminat untuk mempelajari masalah mangrove. Budi Suyanto